"Diagnosis tuberkulosis pada anak tidak dapat ditegakkan hanya dengan 1-2 tes namun harus secara komprehensif"
ANAK kurus, susah atau tidak mau makan, dan berat badan tidak naik, acapkali dikaitkan dengan kemungkinan mengidap penyakit tuberkulosis (tuberculosis). Wajar bila orang tua gelisah ketika berat badan anaknya yang masih balita tidak naik. Dapat dimaklumi bila orang tua sangat menaruh perhatian pada hal itu mengingat kenaikan berat badan merupakan salah satu indikator tumbuh kembang anak, utamanya pada fase balita.
Karena itu, orang tua perlu meningkatkan kewaspadaan guna membentengi anak mereka dari kuman yang disebut abasilus Koch itu. Tuberkulosis (yang kini disingkat Tb) masih menjadi beban besar bagi kesehatan dunia, bahkan hingga abad ke-21 ini. Penyakit itu menginfeksi sepertiga penduduk dunia, dan menurut WHO ada sekitar 9,2 juta kasus baru, dengan perkiraan angka kematian 1,7 juta orang/ tahun (WHO, 2006).
Total jumlah pasien penyakit itu di Indonesia yang termonitor lebih dari 600.000. Fakta itu menempatkan penyakit tersebut sebagai pembunuh nomor satu di antara penyakit menular. Tuberkulosis menempati peringkat ke-3 dari 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia dan menyebabkan 88.000 kematian/ tahun (WHO, 2008).
Sebagai wujud penghormatan kepada Robert Koch, ilmuwan asal Jerman, tiap 24 Maret dunia memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia (HTbS). Koch yang lahir 24 Maret 1882 adalah penemu kuman Mycobacterium tuberculosis, penyebab tuberkulosis yang kini kita kenal dengan istilah Tb (dulu TBC). Tahun ini, untuk memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia, WHO mengusung tema ‘’Menghentikan Tb dalam Hidup Saya’’.
Demi suksesnya program pemberantasan penyakit itu, peran keluarga dan orang tua sangatlah penting untuk menghentikan invasi penyakit itu. Terlebih mendiagnosis secara dini tuberkulosis pada anak, terlebih pada anak yang masih sangat kecil cukuplah sulit. Cukup banyak anak yang overdiagnosed sebagai pengidap, padahal faktanya tidak. Ada pula yang underdiagnosed, maksudnya terinfeksi atau malah sudah sakit, tetapi tidak terdeteksi sehingga tidak memperoleh penanganan yang tepat.
Sistem Skoring
Diagnosis tuberkulosis pada anak tidak dapat ditegakkan hanya dengan 1-2 tes, namun harus komprehensif. Sangat penting untuk mengetahui informasi mengenai riwayat kontak/ pemaparan dengan penderita aktif, gejala, tes Mantoux (uji tuberkulin), dan foto rontgen. Idealnya bahkan perlu uji bakteriologi untuk menemukan ‘’biang keladi’’ aatau kumannya. Untuk memastikan apakah seorang anak benar-benar sakit, dokter memerlukan alat diagnostik gabungan, yaitu sistem pembobotan (skoring).
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDI) telah mengeluarkan standar untuk sistem skoring ini. Memang faktanya hanya dokter yang berwenang melakukan pembobotan (skoring). Namun demi kepentingan anak, sebaiknya orang tua lebih proaktif berdiskusi dengan dokter guna membekali diri dengan pengetahuan mengenai penyakit ini.
Senyatanya, anak yang sakit Tb tidak dapat menularkan kuman Mycobacterium tuberculosis ke anak lain atau orang dewasa. Bila ada anak terinfeksi tuberkolusis, sudah pasti sumber penularnya adalah orang dewasa yang berada di sekitarnya. Jika orang tua mencurigai dirinya atau anggota keluarga (yang serumah) lain memiliki gejala penyakit itu, segera periksakan ke dokter untuk memastikan apakah mereka menderita Tb aktif atau tidak.
Imunisasi dengan vaksin BCG sangat penting untuk mengendalikan penyebaran penyakit tersebut. Vaksin ini akan memberi tubuh kekebalan aktif terhadap penyakit itu. Selain imunisasi, orang tua seyogianya lebih memperhatikan asupan gizi anak. Asupan gizi yang baik ditambah imunisasi BCG, cukup ampuh menangkal serangan bakteri penyakit itu.
Kalau pun anak sampai terinfeksi, dampaknya akan lebih ringan. Kita tidak bisa memungkiri, kualitas kesehatan anak suatu bangsa merupakan salah satu modal lahirnya masa depan suatu bangsa ke arah yang lebih baik lagi. (10)
— dr Dimas Tri Anantyo, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang